ITU BARU SEMPURNA
Aku adalah aku. Itu menurut pikiran kepala ini. Tetapi jika di luaran, hal itu tidaklah berguna. Nama belakangku selalu membuat orang bertanya, “Apakah kamu ada hubungan dengan Pak Hanaya?” Namaku Reginald Constantin Hanaya. Nama yang cukup bagus, meski sebenarnya agak memalukan bagiku...
“Hanaya..” setiap orang di kota ini mengenal nama itu, bahkan di kota sekitarnya. Seorang arsitek yang begitu murah hati. Setiap desain yang dirancang tidak hanya untuk gedung-gedung besar, tempat wisata maupun rumah pribadi melainkan juga rumah-rumah orang ekonomi lemah. “Tak dibayar pun tak apa-apa. Kalau perlu, saya yang bayar,” begitu selalu diucapkannya.
Dari namanya pun sudah terlihat, dia adalah papaku. Papa yang memusingkan. Terlalu banyak hal yang kuanggap setengah-setengah. Setengah baik, setengahnya lagi tidak baik. Contohnya saja, murah hati dengan yang miskin tetapi pelit dengan yang kaya. Kalau bayaran yang diberikan kurang, pasti protes macam-macam. Tetapi tidak demikian dengan orang miskin tadi. Sampai sekarang aku tetap belum mengerti. Hingga usia ini bertambah pun, tetap saja aku belum mengerti. Dan ada saat penting yang ternyata menyadarkan aku untuk hal itu.
****
“Nama saya Reginald Constantin Hanaya. Salam kenal”
Bisik-bisik terdengar di ruangan ini. Aku tau apa yang mereka bicarakan. Salah ya jika aku memilih masuk fakultas ini? Fakultas dengan jurusan ini?
“Kamu anak Pak Hanaya kan?”, seorang cewek mencolek punggungku. Begitu lagi...
“Ya. Memangnya kenapa?” seruku datar, melirik sekilas ke belakang.
“Ah... engga pa pa. Tanya aja! Aku masuk jurusan arsitek karena aku kagum dengan ayahmu” gadis ini bicara cepat sembari tersenyum.
“Oh, begitu..” aku hanya bisa mengangguk.
“Kalau kamu? Kenapa? Apakah karena ayahmu?”
Selalu pertanyaan itu. “Bukan! Ini memang pilihanku dan satu hal aku rada apa gitu, mendengar kata ayah, karena biasanya aku manggil papa”.
“Terserah deh... Hmm namaku vieza Kristine, panggil aku Vie..” tangannya terulur.
“Salam kenal” kusambut dengan sopan, tangannya mungil sekali.
“Panggilanmu apa? Reginald? Constantin?” tampaknya Vie terbiasa ngomong cepat.
“Egi... “
“Simple kayak panggilanku dong”
Aku hanya bisa mengangguk dan kembali memalingkan wajah ke depan. Yah, permulaan yang tidak begitu buruk...
****
Sudah dua bulan berlalu, predikat mahasiswa baru di punggungku tertutup karena nama Hanaya bahkan double menjadi Hanaya-hanaya. Kenapa orang-orang membicarakan masalah itu? Apakah karena setiap hal yang kulakukan? Untuk semua hal yang kuselesaikan berhubungan dengan aktivitas kuliah. Padahal kan biasa saja.. tetapi tampaknya itu hanya berlaku bagiku, tidak untuk yang lain. Termasuk cewek agresif Vie.
“Hanaya!!!” teriaknya lantang.
Aku menoleh, menghentikan langkah kakiku menuju parkir. “Egi..please”
“Kenapa? Bukankah yang lain manggil begitu.” Tanyanya heran.
“Bukan apa-apa sih... tapi..”
“Jangan-jangan kamu ga suka. Kenapa? Karena sama dengan nama ayahmu ya? Ya? Ya?....!!!” potongnya dengan cepat.
“No comment” jawabku cepat dan bergegas pergi.
“Lari lagi.. kenapa sih? Aku kan mau tau. Hanaya pelit!!”
Samar ku dengar ucapan Vie itu. Gawat! Jangan-jangan aku ketularan pelitnya papa nih. Yah, mungkin kalau kujawab alasan yang utama adalah aku benci papa. Jika ditanya lagi kenapa, Jawabnya adalah karena rumah itu.
***
“Hei, ada yang bisa bantu catat hasil rapat ini kan? Nanti diketik ulang ya..”
“Aku! Aku yang catat. Tenang aja. Oh ya, gimana dengan pembentukan panitia? Sekalian aja? Or gimana?”
“Iya... sekalian. Jadi catat yang lengkap, termasuk hal-hal yang penting”
“Oke”
Dengung percakapan lainnya juga terdengar. Suasana ini kapan berakhir? Dan kenapa juga aku harus ikutan? Terlebih bersama orang-orang setipe Vie.
“Hanaya.. suruh yang lain masuk. Rapat mo mulai nih” seru Rico dari sudut ruangan, masih sibuk menarik kursi dan menyusunnya.
“Woiiii!!! Yang di luar masuk!!!” aku berteriak di sisi pintu. Ada yang terkejut rupanya. “Sorry, ga liat. Masuk!” kali ini dengan lebih pelan.
Selama rapat Natal ini berlangsung, banyak debat yang tidak cepat selesai. Mulai dari pembentukan panitia, pemilihan orang-orang di dalamnya sampai ke tema acara. Aku hanya termenung mendengarkan. Tugas sebagai seksi perlengkapan mungkin tidak akan terlalu memberatkan. Untungnya hanya anggota, bukan koordinator. Masalahnya kakak tingkat juga ambil bagian.
“Seksi perlengkapan..!! pikirkan apa saja yang akan dikerjakan serta yang diperlukan..” Albert memberi perintah dari depan, begitu juga untuk yang lain.
Berembuk... dan berpikir. Apa saja, lalu dicatat... dipilih. Didiskusikan lagi. Setelah itu selesai..
“Masalah tempat gimana?” Celetuk Andre di belakangku.
“Nah, itu dia. Masih bingung..” jawab Rico.
“Aula fakultas gimana?” Teddy ikut bicara.
“Aula? Bukankah lusa mau direnovasi. Kemungkinan ga bisa selesai pas hari H” aku berbisik sambil menunduk.
“Ya?! Ada pendapat Hanaya?” seru Albert.
Ah.. telinganya begitu tajam, setajam matanya yang melihat aku mencibir sebentar.
“Sepertinya kamu ada pendapat kan? Bilang aja.” Albert mengulangi dengan lebih jelas. Pemaksaan yang membuatku segan.
“Lusa nanti aula mau direnovasi sampai akhir Januari” ucapku setengah berteriak.
“Lho.. bukannya itu rencana tahun depan. Kok bisa jadi lusa? Lagian ga ada pengumuman tentang itu kan?” Vie ikut bicara.
“Iya Hanaya. Kenapa? Dan kamu tau dari mana?” pertanyaan dilanjutkan Teddy hingga semua mata menatapku. Menunggu jawaban.
“Kontrak awal begitu. Tapi, tadi malam aku baru tau kalau papaku mengajukan untuk dimulai dari sekarang” jawabku tegas. Selalu saja papaku.
“Alasannya?” Tanya Rico tidak puas.
“Karena tahun depan, papa lebih memprioritaskan pembangunan rumah susun dan tidak ingin diganggu dengan kontrak maupun proyek apapun. Jadi, setiap proyek yang ada harus diselesaikan paling lambat pertengahan februari. Bagaimana? Jelas?” paparku.
Sesaat hanya keheningan. Ada yang ingin protes, tetapi tidak berani berucap.
‘Lalu...setiap kegiatan selama Desember nanti dialihkan ke mana?” giliran Albert bertanya, memecah keheningan.
Ya tuhan... kenapa pertanyaan itu jadi keluar.
“Hanaya?! Kurasa kamu tau lebih dari itu. katakan!”
“Yah, untuk sementara dialihkan ke rumahku..” terasa berat untuk mengatakannya.
Bukanlah hening. Melainkan keributan yang terjadi. Ada yang merasa lega yang berujung dengan penasaran. Hal biasa yang sering terjadi dan justru membosankan bagiku.
“Sebesar apa rumahmu? Atau karena ingin memperlihatkan karya-karya Hanaya yang tersembunyi?” ada komentar seperti percik api.
“Sebesar kandang kuda di pacuan kali” jawabku seenaknya. Ada yang terkekeh mendengarnya.
Sejauh ini, satu-satunya tempat yang tidak mau diekspos dengan detail adalah rumahku. Untuk sekedar wawancara pun, papa pasti melakukannya di tempat lain. Jadi, bisa dibilang rumah itu hanya bisa tau dari cerita mulut ke mulut. Papa melarang untuk mengedarkan foto rumah dengan bermacam alasan yang logis bahkan aneh.
“Setidaknya cukup kan untuk sekian banyak orang” seru Albert tersenyum.
“Bukankah sudah kukatakan. Rumah seukuran kandang kuda tentu akan cukup bahkan berlebih” bisikku menunduk.
Ploookkk!!! Albert bertepuk memecah keributan yang masih terdengar. “Oke, masalah tempat beres, yang lain gimana?”
Beberapa mengatakan “Beres!” atau “Selesai”. Banyak suara terdengar lagi. Tampaknya masalah ini akan berbuntut panjang.
“Rapat ditutup. Nanti akan diumumkan rapat lanjutan... Bubar!” seru albert.
Ada perasaan lega. Semoga bisa berjalan mulus. Meski sebenarnya aku merasa ragu jika melihat kenyataan yang ada.
***
Malam ini langit cerah. Bintang-bintang terlihat jelas, begitu juga dengan bulan sabit yang bersinar indah. Terlalu konsentrasi membuatku tidak menyadari sosok itu sudah berdiri di belakangku, mengamati seiring halus nafasnya.
“Masih menggambar?”
Terpecah lamunan mengakibatkan coretan panjang serta jatuhnya penggaris dari tanganku.
“Maaf, papa jadi mengejutkanmu” papa tersenyum tipis.
“Tak apa” aku menunduk meraih penggaris di dekat kakiku.
“Bagaimana kuliahmu?” tanyanya ikut duduk di kursi panjang yang kududuki, membelakangi sketsa gambar di depanku.
“Lumayan, masih dalam tahap mudah.” Jawabku datar, menghapus coretan tadi.
“Natal kampus itu gimana?”
Aku terdiam sejenak.”Sudah kukatakan apa yang harus mereka tau di rapat kemaren sore”
“Dan?”
“Dan mereka tidak bisa komentar lebih jauh”
“Kecuali?”
“Kecuali untuk beberapa orang, mungkin ada yang masih sanksi atau apalah...”
“Hmm... lalu?”
“Semua setuju saja karena sekalian ingin tau rumah ini seperti apa” kutambahkan segaris coretan di tempat hapusan tadi sehingga terlihat sempurna. Tetapi papa mengambil penghapus dan menghapus setengah dari garis yang kubuat.
“Begitu baru sempurna...” tersenyum menatap gambar itu dari samping.” Ada yang mau kaukatakan? “
Pensil ini tidak jadi membuat goresan lain. Aku terdiam mendengarkan pertanyaan yang langsung bergema dalam pikiranku. “Tentang apa?”
“Tentang kesalahan tadi dan juga sebelumnya. Tidak biasanya kamu rela menghapus berkali-kali hingga kertas ini terlihat kasar” jari-jari itu menyentuh permukaan kertas yang jadi seperti dipenuhi bulu-bulu.
Mata tua ini, semakin cermat mengamati. Kuletakkan pensil di tepi meja. ”Hanya sedikit emosi.” Jawabku menghela nafas panjang.
“Kenapa? Apakah karena tanggung jawab acara?
“Mungkin...” ada nada aneh terdengar
“Mungkin?” dahi itu berkerut.
“Ya... mungkin karena tanggung jawab itu” sahutku cepat.
“Oh, lantas atas dasar apa?”
“Karena rumah ini” jawabku pasti.
“Rumah ini?” mata papa menerawang membayangkan. “ Ada yang aneh “
“Mungkin...”
“Kenapa? Jawab lebih jelas” kali ini papa berbicara lebih panjang.
Aku terdiam lagi. “Kenapa papa membuat rumah seperti ini?” aku balik bertanya, ada nada emosi terasa.
“Itukah yang membuat kamu gelisah?”
“Ya!!”
“Bukankah rumah ini bagus? Papa menyukainya”
“Kenapa rumah ini tidak seperti rumah lain? Teman kampus bersemangat bukan karena acara natal tetapi karena tertarik pada rumah ini. Sebesar apa? Seindah apa? Bagus? Bahkan ada yang bilang, tumben... apakah mau memperlihatkan karya-karya hanaya yang tersembunyi? “
“Tersembunyi..?” kepala itu mendongak dan tak lama terdengar suara tawa yang khas.
Kenapa papa tertawa? Di saat aku marah, kenapa jadi tertawa?
Setengah geli, papa menjawab “Ya, inilah karya Hanaya yang tersembunyi” sembari melebarkan kedua tangan seakan-akan memperlihatkan sesuatu yang besar.
Mau tak mau, aku juga ikut tertawa.
“Jadi. Karena itukah kamu sering katakan rumah ini seperti kandang kuda?”
Tawaku makin keras mengingat bentuk kandang kuda pacuan di pinggir kota ini.
“Cari saja jawabannya di sini..” papa meletakkan telapak tangannya di tengah kertas.
“Pada kertas ini”
“Maksudnya?” tanyaku tak mengerti.
“Pikirkan sendiri.” Setelah menepuk pundakku, sosok itu keluar dari kamar.
Kutatap skesta di depanku. Apa artinya?
***
Waktu berlalu sejak pembicaraan malam itu. Sepuluh hari lagi acara Natal yang yang ditunggu. Itu adalah hari ini. Hari ini diadakan tinjauan tempat. Kurasakan dingin ditengkuk, saat memacu motor di antara rombongan. Semakin dekat, semakin cepat detak jantungku.
Setelah memarkir motor di sudut gerbang. Sudut yang kuanggap aneh itu. Mereka semakin diam diiringi bingung melihat pemandangan di depan. Pagar besi sepanjang 1 meter dan yang terlihat di bagian dalam adalah tembok hijau tanaman menjalar setinggi 2 meter. Tak ada yang lain.
“Yo.. masuk” aku mengajak mereka. Membuka pagar itu dan berjalan menelusuri labirin kecil yang jika dilihat dari atas seperti huruf Z. Dan terlihat pemandangan di dalam. Masing-masing terdiam.
“kenapa?” tanyaku datar, seakan tak tau apa yang mereka pikirkan.
Rumah itu terlihat di tengah-tengah berjarak 20 meter lagi dengan cat putih. Bentuknya biasa, sebut saja seperti balok melintang yang ditengahnya ditumpuk dengan kubus. Tak ada atap. Di sekeliling yang terlihat adalah deretan pohon sawo dengan buahnya yang bergantungan dibatasi oleh pagar tanaman setinggi pinggang. Bunga matahari di depan halaman seakan-akan mengucapkan salam “selamat datang” . tambahan yang lain hanya hamparan rumput jepang mengisi sela-sela halaman yang kosong.
“Ga pa pa” seru Andre bersuara, memegang salah satu buah sawo yang kebetulan menjuntai melewati pagar tanaman. Yang lain hanya geleng-geleng atau angguk-angguk tanpa komentar banyak.
Beriringan kubawa mereka masuk lewat pintu ditengah-tengah dengan dua jendela bulat di kiri kanan.
“Hei.. sudah datang ya?” ada yang menyambut dari dalam.
“Iya Ma” jawabku tersenyum.
Masing-masing mengucap salam dan masuk. Mata mereka semakin terlihat aneh memandang isi rumah itu.
“Bagaimana? Langsung kerja atau duduk dulu?” tanyaku karena mereka tidak bereaksi.
“Egi... mereka kan sudah jalan lama dari depan. Nanti dulu dong! Suruh duduk dulu “ mama memprotes dengan halus disertai lirikan.
“oke...” di sisi kiri ada karpet coklat terhampar yang sudah digelar tadi pagi. Duduk membentuk lingkaran dengan kaki terjulur.
“Hanaya... ini mah melebihi kandang kuda tau” celetuk Vie terlihat takjub. “Bagus”
Yang lain pun berpendapat sama. Beberapa tertawa.
Keningku berkerut. Kotak putih ini dianggap bagus? Kutatap ruangan ini. Seluas 4 kali lapangan tenis dengan banyak jendela bulat sebesar piring di bagian atas yang mirip dengan ruangan kapal. Berlantai kayu krem. Tak ada hiasan apapun. Selain beberapa foto dan lukisan di dinding yang bersebelahan dengan dapur maupun ruang makan. Tangga putar di sudut untuk menuju lantai 2. Apa yang istimewa dari ini? Kenapa papa mengakui bahwa ini karyanya yang tersembunyi.
Aku termenung memikirkan jawaban untuk kesekian kalinya. Bersamaan dengan gerak tangan membuat sketsa kasar penempatan peralatan seperti pohon Natal, panggung acara, letak tempat duduk, meja makan, dan lain-lain. Entah kenapa seakan-akan aku temukan sesuatu. Namun, masih belum terlihat jelas.
***
Harinya tiba. Semua yang sudah sibuk mempersiapkan segala sesuatu merasa puas. Begitu pula aku, sibuk menyelesaikan semuanya dengan harapan tidak ada kekacauan. Acara ini berlangsung sukses, meski beberapa kekacauan kecil yang berawal dari beberapa teman memetik buah berbentuk permen yang tersebar di pucuk-pucuk pohon cemara yang menyebabakan olengnya pohon Natal setinggi 2 meter itu. Drama sedih yang berujung heboh karena salah satu pemain tersandung dan salah tangkap hingga semua ikut terjatuh diiringi latah tidak jelas. Kacau. Beberapa minuman tumpah, begitu juga piring yang terjatuh membuat latah orang yang sama. Semua berujung tertawa gembira.
Kurasa aku akan mengingat saat-saat ini. Terutama saat perjuangan mendirikan pohon cemara di sudut ruangan, menyematkan hiasan hingga peletakan bintang oleh papa yang kebetulan ikut ambil bagian. Latihan drama. Latihan koor. Cek sound. Sampai ketika bercanda sembari istirahat.
Dari semua yang terjadi. Tangan ini bergerak tak henti membuat gambar semua suasana itu sembari tersenyum sendiri.
“lagi ngapain, egi?” terdengar suara di belakangku.
Kali ini aku tidak lagi terkejut. “menggambar” jawabku tidak menoleh. Seperti biasa, papa duduk membelakangi sketsku.
“apa yang digambar?”
“macam-macam, intinya suasana acara tadi serta persiapannya” aku menambahkan beberapa gambar buah di pucuk cemara.
“apa yang kau dapat?”
Pertanyaan yang dalam maknanya. “tentang?”
“tentang karya hanaya yang tersembunyi”
Aku menoleh. Menatap papa dan berpikir, beralih menatap skets di hadapanku. Pikiranku menerawang mengingat sesuatu.
Jawabannya adalah pada kertas ini. Terdengar bisikan di telingaku. Ada titik terang dalam kegelapan.
“bagaimana?” ucapan papa memecah keheningan.
“aku mengerti tetapi aku tak bisa menjawabnya” sahutku pelan. Papa menatap gambarku dengan cermat. Pensil di tanganku beralih, papa membuat satu buah di bawah bintang pada pohon cemara.
“itu baru sempurna” jawabnya senang. “sesuatu yang indah bukan hanya harus dilihat dengan mata melainkan juga dengan hati. Papa sediakan untuk kamu satu tempat. Tempat supaya kamu bebas berbuat apa saja. Dan papa juga bebas berbuat apa saja di dalamnya. Tidak seperti yang terlihat di luar sana. Semuanya indah tetapi hanya bisa dikagumi dan sulit untuk diubah lagi. Tetapi di sini, di rumah ini. Kamu bisa membuat sesuatu yang bagus berulang kali.” Tangan itu menunjuk setiap bagian gambarku, mulai dari kursi, meja, mimbar, panggung, pohon Natal, hiasan di langit-langit serta 1 pot pohon sawo di dekat tirai panggung (entah siapa yang meletakkan pohon itu di sana).
“Ya.. sempurna” aku tau jawabannya. Mungkin hal itu yang membuat papa segan untuk memperlihatkan rumah ini. Kesederhanaan bisa menciptakan kesempurnaan. Dan yang kuanggap sempurna itu belum tentu di mata yang lain, sama seperti papa yang selalu memperbaiki kesalahanku. Segala sesuatu dijadikan sempurna.
“selamat Natal, papa. Terima kasih. Sekarang Hanaya-Hanaya mengerti” ucapan itu tulus dan jujur.
Papa hanya bisa tertawa melihat senyum malu dengan semburat merah di wajahku...
= the end=
Copyright : 16 Desember 2005
PS : tuk seorang Hiem. Segala sesuatu adalah sempurna saat kau masih bersamaku.
Thursday, January 28, 2010
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment